Artikel Kesehatan (Evaluasi Layanan Kesehatan Mental di Indonesia : Mewujudkan Keadilan untuk Semua)
Evaluasi
Layanan Kesehatan Mental di Indonesia : Mewujudkan Keadilan untuk Semua
Oleh : Ade Fadly H Masse
Latar Belakang
Gangguan
kesehatan mental merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan serius, karena
jumlah kasusnya saat ini masih menjadi sumber kekhawatiran yang signifikan.
Sekitar 450 juta orang dilaporkan menderita gangguan mental dan perilaku di
seluruh dunia, dengan perkiraan bahwa satu dari empat orang akan mengalami
gangguan mental sepanjang hidup mereka. Menurut laporan WHO regional Asia
Pasifik (WHO SEARO), India memiliki jumlah kasus gangguan depresi terbanyak,
mencapai 56.675.969 kasus atau 4,5% dari total populasi, sementara Maladewa
memiliki jumlah kasus terendah, yaitu 12.739 kasus atau 3,7% dari populasi. Di
Indonesia, dilaporkan terdapat sekitar 9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi
Menurut
WHO, kesehatan mental didefinisikan sebagai keadaan kesejahteraan di mana
individu menyadari kemampuan mereka sendiri, mampu menghadapi tekanan hidup
yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi kepada komunitas
mereka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seseorang dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
mereka sendiri, dapat mengatasi tekanan, bekerja secara produktif, dan
memberikan kontribusi kepada komunitas mereka
Salah
satu pertimbangan utama dalam penanganan gangguan kesehatan mental di Indonesia
adalah kurangnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di banyak daerah. Akibatnya,
banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum mendapatkan penanganan
yang memadai. Kesenjangan dalam pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai
lebih dari 90 persen, yang berarti kurang dari 10 persen penderita gangguan
jiwa yang menerima layanan terapi dari tenaga kesehatan
Di
Indonesia, hanya 6,1% penderita depresi yang menerima pengobatan medis.
Padahal, depresi merupakan awal dari gangguan jiwa yang lebih serius dan bisa
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti biologis, psikologis, dan sosial. Jika
tidak segera ditangani, jumlah kasus gangguan jiwa kemungkinan besar akan terus
meningkat. Oleh karena itu, setiap negara perlu memiliki upaya penanggulangan
untuk mengatasi dampak dari gangguan kesehatan mental ini
Dalam
evaluasi layanan kesehatan mental di Indonesia berkaitan dengan kurangnya
pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa yang memadai di berbagai daerah,
sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental tidak mendapatkan
penanganan yang sesuai. Dengan hanya 6,1% penderita depresi yang menerima
pengobatan medis, dan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa mencapai lebih dari
90%, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memberikan akses layanan
kesehatan mental yang merata dan berkualitas. Mengingat bahwa depresi dapat
menjadi awal dari gangguan jiwa yang lebih serius, serta dipengaruhi oleh
berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial, penanganan yang tidak memadai
dapat menyebabkan peningkatan jumlah kasus gangguan jiwa. Oleh karena itu,
diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia
untuk memastikan keadilan akses dan meningkatkan kesejahteraan mental
masyarakat secara keseluruhan.
“Evaluasi
Layanan Kesehatan Mental di Indonesia : Mewujudkan Keadilan untuk Semua”
Cakupan Geografis
Layanan : Perkotaan Vs Pedesaan
·
Fasilitas kesehatan mental di perkotaan
lebih luas dan lebih baik dibandingkan dengan di pedesaan. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI (2019) menunjukkan bahwa cakupan indikator penderita
gangguan jiwa yang mendapatkan pengobatan di DKI Jakarta mencapai 79,03%,
sedangkan di Sulawesi Tenggara hanya 27,6%
·
Jumlah tenaga psikolog dan psikiater di
perkotaan lebih banyak dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan mental yang diberikan
Di wilayah perkotaan,
layanan kesehatan mental lebih mudah diakses karena adanya rumah sakit besar,
klinik khusus, dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang menawarkan
layanan kesehatan mental. Sebaliknya, di daerah pedesaan, akses terhadap
layanan ini sering terbatas karena kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan
yang terlatih.
Aksesibilitas Ekonomi
·
Biaya Konsultas, Biaya konsultasi ke
psikiater atau psikolog di Indonesia dapat mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 1,15
juta per bulan, tergantung dari rumah sakit dan kebijakan yang digunakan.
·
Sedangkan biaya terapi, untuk gangguan
kesehatan mental seperti depresi, cemas, dan skizofrenia membutuhkan terapi
dengan dosis obat yang terus disesuaikan. Biaya pengobatan ini dapat
berlangsung tanpa putus selama 6 bulan hingga hitungan tahun jika memang
gangguan sudah masuk ke level akut.
·
Biaya obat, untuk kesehatan mental juga
dapat mencapai Rp 800 ribu per bulan, tergantung dari jenis obat dan dosis yang
digunakan
Secara keseluruhan,
biaya tinggi untuk konsultasi, terapi, dan obat-obatan menimbulkan tantangan
ekonomi yang besar bagi banyak individu yang membutuhkan perawatan kesehatan
mental di Indonesia. Beban biaya ini dapat menghambat akses terhadap layanan
kesehatan mental yang memadai, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah,
dan memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat secara keseluruhan.
Budaya dan Stigma
·
Pengaruh Budaya: Budaya dan kepercayaan
lokal di Indonesia memiliki dampak besar terhadap cara pandang dan penerimaan
terhadap layanan kesehatan mental. Bagi banyak orang di Indonesia, kesehatan
mental masih dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak dipandang setara dengan
kesehatan fisik. Pandangan ini dapat mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat
dan akses mereka terhadap layanan kesehatan mental yang memadai.
·
Stigma dan Diskriminasi: Di Indonesia,
stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang mencari pertolongan untuk masalah
kesehatan mental masih melonjak tinggi. Tidak hanya berupa kata-kata
menyakitkan, pengucilan, dan rasa malu dari lingkungan sekitar, stigma ini juga
menciptakan ketakutan dalam pikiran individu yang mengalami masalah, takut akan
penolakan karena dianggap "berbeda"
Kedua permasalahan ini
secara serius menghambat upaya untuk meningkatkan kesehatan mental di
Indonesia. Perlu dilakukan upaya bersama baik dari pemerintah, lembaga
kesehatan, maupun masyarakat untuk mengubah pandangan dan sikap terhadap
kesehatan mental, serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang
membutuhkan bantuan. Dengan demikian, diharapkan akses terhadap layanan
kesehatan mental dapat ditingkatkan dan masyarakat lebih terbuka untuk mencari
bantuan ketika dibutuhkan.
Keterbatasan Tenaga
Kesehatan Mental
·
Psikiater dan Psikolog Klinis: Jumlah
psikiater dan psikolog klinis di Indonesia masih jauh di bawah standar WHO
1:30.000. Statistik menunjukkan bahwa perbandingan psikiater per jumlah
populasi umumnya sangat rendah, yaitu sekitar 1 berbanding 200.000. Konselor
dan Tenaga Kesehatan Mental Lainnya: Jumlah konselor dan tenaga kesehatan
mental lainnya juga terbatas, sehingga sulit bagi individu untuk mendapatkan
bantuan profesional
·
Ketersediaan Tenaga Kesehatan Mental:
Jumlah psikiater di Indonesia terbilang rendah, hanya sekitar 1.053 orang
hingga Oktober 2021 . Hal ini menunjukkan kekurangan dalam jumlah tenaga
kesehatan mental yang dapat memberikan layanan kepada masyarakat
Keterbatasan tenaga
kesehatan mental merupakan hambatan serius dalam penyediaan layanan kesehatan
mental yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Perlu adanya
langkah-langkah yang konkret untuk meningkatkan jumlah dan distribusi tenaga
kesehatan mental di seluruh negeri agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses
bantuan profesional yang mereka butuhkan untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Keterbatasan Akses dan
Distribusi Obat
·
Keterbatasan Akses dan Distribusi Obat:
Distribusi obat kesehatan mental dari puskesmas seringkali mengalami kendala,
sehingga menyebabkan kehabisan stok obat. Hal ini dapat mengakibatkan penderita
gangguan mental seperti skizofrenia/psikosis tidak rutin minum obat, yang dapat
memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.
·
Ketidakrutinan dalam konsumsi obat dapat
memiliki dampak serius pada kesehatan mental pasien, terutama bagi mereka yang
menderita gangguan seperti skizofrenia/psikosis. Kondisi ini dapat
mengakibatkan perburukan gejala, peningkatan risiko kekambuhan, dan bahkan
risiko kejadian yang lebih serius
Permasalahan
keterbatasan akses dan distribusi obat kesehatan mental merupakan hambatan
nyata dalam upaya penyediaan perawatan yang efektif bagi individu yang
membutuhkan. Perlu dilakukan tindakan konkret untuk meningkatkan aksesibilitas
obat-obatan kesehatan mental di seluruh wilayah Indonesia, serta memperkuat
sistem distribusi agar pasien dapat dengan mudah mengakses obat yang mereka
perlukan untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Kesimpulan
Dengan tema Evaluasi
Layanan Kesehatan di Indonesia : Mewujudkan Keadilan Untuk Semua, menggambarkan
tantangan yang dihadapi dalam penyediaan layanan kesehatan mental di Indonesia.
Dari cakupan geografis hingga stigma budaya, dan dari keterbatasan tenaga
kesehatan mental hingga akses terhadap obat, artikel ini menggarisbawahi
berbagai aspek yang mempengaruhi ketersediaan dan aksesibilitas layanan
kesehatan mental di Indonesia. Salah satu temuan utama adalah bahwa terdapat
disparitas yang signifikan antara layanan kesehatan mental di perkotaan dan
pedesaan, serta bahwa stigma budaya masih menjadi hambatan besar dalam mencari
bantuan untuk masalah kesehatan mental. Sementara itu, keterbatasan tenaga
kesehatan mental dan akses terhadap obat menyoroti kebutuhan akan
langkah-langkah konkret untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas
layanan kesehatan mental di seluruh Indonesia. Dengan mengatasi tantangan ini,
diharapkan bahwa masyarakat Indonesia akan dapat lebih mudah mengakses bantuan
profesional yang mereka butuhkan untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Referensi
Binus,
U., 2021. Mengenal Stigma Dan Diskriminasi Pada Kesehatan Mental [WWW
Document]. URL
https://student-activity.binus.ac.id/himme/2021/11/social-connect-mengenal-stigma-dan-diskriminasi-pada-kesehatan-mental/
(accessed 6.10.24).
Chandra,
J., Mulapoa, C., Erlaningtyas, A.D., 2022. Remaja Pedesaan Butuh Layanan
Kesehatan Mental [WWW Document]. URL
https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/15/153500771/remaja-pedesaan-butuh-layanan-kesehatan-mental?page=all#google_vignette
(accessed 6.10.24).
Duhita,
S., 2018. Mahalnya Biaya Melawan Depresi Dan Menjaga Kesehatan Mental di
Indonesia [WWW Document]. URL
https://www.vice.com/id/article/435gkw/mahalnya-biaya-melawan-depresi-dan-menjaga-kesehatan-mental-di-indonesia
(accessed 6.10.24).
kompasiana,
2023. Kurangnya Tenaga Kesehatan Mental di Indonesia.
Nur
Haryanti, A., Bintang Syah Putra, M., Larasati, N., Nureel Khairunnisa, V.,
Dyah Dewi, L.A., 2024. Analisis Kondisi Kesehatan Mental di Indonesia Dan
Strategi Penanganannya. Student Research Journal 28–40.
https://doi.org/10.55606/srjyappi.v2i3.1219
Riskesdas,
2018. Riset Kesehatan Dasar.
sehatnegeriku.kemenkes,
2022. Kemenkes Perkuat Jaringan Layanan Kesehatan Jiwa di Seluruh Fasyankes
[WWW Document]. URL
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20221010/4041246/kemenkes-kembangkan-jejaring-pelayanan-kesehatan-jiwa-di-seluruh-fasyankes/
(accessed 6.10.24).
WHO,
2017. Depression and Other Common Mental Disorders Global Health Estimates.
Winurini,
S., 2023. Penanganan Kesehatan Mental Di Indonesia.