Artikel Kesehatan (Evaluasi Layanan Kesehatan Mental di Indonesia : Mewujudkan Keadilan untuk Semua)

facebook sharing button
twitter sharing button
whatsapp sharing button
telegram sharing button
gmail sharing button
sharethis sharing button

Evaluasi Layanan Kesehatan Mental di Indonesia : Mewujudkan Keadilan untuk Semua

Oleh    : Ade Fadly H Masse

Latar Belakang

Gangguan kesehatan mental merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan serius, karena jumlah kasusnya saat ini masih menjadi sumber kekhawatiran yang signifikan. Sekitar 450 juta orang dilaporkan menderita gangguan mental dan perilaku di seluruh dunia, dengan perkiraan bahwa satu dari empat orang akan mengalami gangguan mental sepanjang hidup mereka. Menurut laporan WHO regional Asia Pasifik (WHO SEARO), India memiliki jumlah kasus gangguan depresi terbanyak, mencapai 56.675.969 kasus atau 4,5% dari total populasi, sementara Maladewa memiliki jumlah kasus terendah, yaitu 12.739 kasus atau 3,7% dari populasi. Di Indonesia, dilaporkan terdapat sekitar 9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi (WHO, 2017).

Menurut WHO, kesehatan mental didefinisikan sebagai keadaan kesejahteraan di mana individu menyadari kemampuan mereka sendiri, mampu menghadapi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi kepada komunitas mereka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seseorang dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan mereka sendiri, dapat mengatasi tekanan, bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi kepada komunitas mereka (Nur Haryanti et al., 2024).

Salah satu pertimbangan utama dalam penanganan gangguan kesehatan mental di Indonesia adalah kurangnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di banyak daerah. Akibatnya, banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum mendapatkan penanganan yang memadai. Kesenjangan dalam pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen, yang berarti kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang menerima layanan terapi dari tenaga kesehatan (Riskesdas, 2018).

Di Indonesia, hanya 6,1% penderita depresi yang menerima pengobatan medis. Padahal, depresi merupakan awal dari gangguan jiwa yang lebih serius dan bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti biologis, psikologis, dan sosial. Jika tidak segera ditangani, jumlah kasus gangguan jiwa kemungkinan besar akan terus meningkat. Oleh karena itu, setiap negara perlu memiliki upaya penanggulangan untuk mengatasi dampak dari gangguan kesehatan mental ini (Riskesdas, 2018).

Dalam evaluasi layanan kesehatan mental di Indonesia berkaitan dengan kurangnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa yang memadai di berbagai daerah, sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental tidak mendapatkan penanganan yang sesuai. Dengan hanya 6,1% penderita depresi yang menerima pengobatan medis, dan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa mencapai lebih dari 90%, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memberikan akses layanan kesehatan mental yang merata dan berkualitas. Mengingat bahwa depresi dapat menjadi awal dari gangguan jiwa yang lebih serius, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial, penanganan yang tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan jumlah kasus gangguan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia untuk memastikan keadilan akses dan meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat secara keseluruhan.

“Evaluasi Layanan Kesehatan Mental di Indonesia : Mewujudkan Keadilan untuk Semua”

Cakupan Geografis Layanan : Perkotaan Vs Pedesaan

·         Fasilitas kesehatan mental di perkotaan lebih luas dan lebih baik dibandingkan dengan di pedesaan. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (2019) menunjukkan bahwa cakupan indikator penderita gangguan jiwa yang mendapatkan pengobatan di DKI Jakarta mencapai 79,03%, sedangkan di Sulawesi Tenggara hanya 27,6% (Chandra et al., 2022).

·         Jumlah tenaga psikolog dan psikiater di perkotaan lebih banyak dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan mental yang diberikan  (sehatnegeriku.kemenkes, 2022).

Di wilayah perkotaan, layanan kesehatan mental lebih mudah diakses karena adanya rumah sakit besar, klinik khusus, dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang menawarkan layanan kesehatan mental. Sebaliknya, di daerah pedesaan, akses terhadap layanan ini sering terbatas karena kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan yang terlatih.

Aksesibilitas Ekonomi

·         Biaya Konsultas, Biaya konsultasi ke psikiater atau psikolog di Indonesia dapat mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 1,15 juta per bulan, tergantung dari rumah sakit dan kebijakan yang digunakan.

·         Sedangkan biaya terapi, untuk gangguan kesehatan mental seperti depresi, cemas, dan skizofrenia membutuhkan terapi dengan dosis obat yang terus disesuaikan. Biaya pengobatan ini dapat berlangsung tanpa putus selama 6 bulan hingga hitungan tahun jika memang gangguan sudah masuk ke level akut.

·         Biaya obat, untuk kesehatan mental juga dapat mencapai Rp 800 ribu per bulan, tergantung dari jenis obat dan dosis yang digunakan (Duhita, 2018).

Secara keseluruhan, biaya tinggi untuk konsultasi, terapi, dan obat-obatan menimbulkan tantangan ekonomi yang besar bagi banyak individu yang membutuhkan perawatan kesehatan mental di Indonesia. Beban biaya ini dapat menghambat akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah, dan memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat secara keseluruhan.

Budaya dan Stigma

·         Pengaruh Budaya: Budaya dan kepercayaan lokal di Indonesia memiliki dampak besar terhadap cara pandang dan penerimaan terhadap layanan kesehatan mental. Bagi banyak orang di Indonesia, kesehatan mental masih dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak dipandang setara dengan kesehatan fisik. Pandangan ini dapat mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat dan akses mereka terhadap layanan kesehatan mental yang memadai.

·         Stigma dan Diskriminasi: Di Indonesia, stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang mencari pertolongan untuk masalah kesehatan mental masih melonjak tinggi. Tidak hanya berupa kata-kata menyakitkan, pengucilan, dan rasa malu dari lingkungan sekitar, stigma ini juga menciptakan ketakutan dalam pikiran individu yang mengalami masalah, takut akan penolakan karena dianggap "berbeda" (Binus, 2021).

Kedua permasalahan ini secara serius menghambat upaya untuk meningkatkan kesehatan mental di Indonesia. Perlu dilakukan upaya bersama baik dari pemerintah, lembaga kesehatan, maupun masyarakat untuk mengubah pandangan dan sikap terhadap kesehatan mental, serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang membutuhkan bantuan. Dengan demikian, diharapkan akses terhadap layanan kesehatan mental dapat ditingkatkan dan masyarakat lebih terbuka untuk mencari bantuan ketika dibutuhkan.

Keterbatasan Tenaga Kesehatan Mental

·         Psikiater dan Psikolog Klinis: Jumlah psikiater dan psikolog klinis di Indonesia masih jauh di bawah standar WHO 1:30.000. Statistik menunjukkan bahwa perbandingan psikiater per jumlah populasi umumnya sangat rendah, yaitu sekitar 1 berbanding 200.000. Konselor dan Tenaga Kesehatan Mental Lainnya: Jumlah konselor dan tenaga kesehatan mental lainnya juga terbatas, sehingga sulit bagi individu untuk mendapatkan bantuan profesional (kompasiana, 2023).

·         Ketersediaan Tenaga Kesehatan Mental: Jumlah psikiater di Indonesia terbilang rendah, hanya sekitar 1.053 orang hingga Oktober 2021 . Hal ini menunjukkan kekurangan dalam jumlah tenaga kesehatan mental yang dapat memberikan layanan kepada masyarakat (Winurini, 2023).

Keterbatasan tenaga kesehatan mental merupakan hambatan serius dalam penyediaan layanan kesehatan mental yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Perlu adanya langkah-langkah yang konkret untuk meningkatkan jumlah dan distribusi tenaga kesehatan mental di seluruh negeri agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses bantuan profesional yang mereka butuhkan untuk menjaga kesehatan mental mereka.

Keterbatasan Akses dan Distribusi Obat

·         Keterbatasan Akses dan Distribusi Obat: Distribusi obat kesehatan mental dari puskesmas seringkali mengalami kendala, sehingga menyebabkan kehabisan stok obat. Hal ini dapat mengakibatkan penderita gangguan mental seperti skizofrenia/psikosis tidak rutin minum obat, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.

·         Ketidakrutinan dalam konsumsi obat dapat memiliki dampak serius pada kesehatan mental pasien, terutama bagi mereka yang menderita gangguan seperti skizofrenia/psikosis. Kondisi ini dapat mengakibatkan perburukan gejala, peningkatan risiko kekambuhan, dan bahkan risiko kejadian yang lebih serius (Winurini, 2023).

Permasalahan keterbatasan akses dan distribusi obat kesehatan mental merupakan hambatan nyata dalam upaya penyediaan perawatan yang efektif bagi individu yang membutuhkan. Perlu dilakukan tindakan konkret untuk meningkatkan aksesibilitas obat-obatan kesehatan mental di seluruh wilayah Indonesia, serta memperkuat sistem distribusi agar pasien dapat dengan mudah mengakses obat yang mereka perlukan untuk menjaga kesehatan mental mereka.

Kesimpulan

Dengan tema Evaluasi Layanan Kesehatan di Indonesia : Mewujudkan Keadilan Untuk Semua, menggambarkan tantangan yang dihadapi dalam penyediaan layanan kesehatan mental di Indonesia. Dari cakupan geografis hingga stigma budaya, dan dari keterbatasan tenaga kesehatan mental hingga akses terhadap obat, artikel ini menggarisbawahi berbagai aspek yang mempengaruhi ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan mental di Indonesia. Salah satu temuan utama adalah bahwa terdapat disparitas yang signifikan antara layanan kesehatan mental di perkotaan dan pedesaan, serta bahwa stigma budaya masih menjadi hambatan besar dalam mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental. Sementara itu, keterbatasan tenaga kesehatan mental dan akses terhadap obat menyoroti kebutuhan akan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan mental di seluruh Indonesia. Dengan mengatasi tantangan ini, diharapkan bahwa masyarakat Indonesia akan dapat lebih mudah mengakses bantuan profesional yang mereka butuhkan untuk menjaga kesehatan mental mereka.


 

Referensi

Binus, U., 2021. Mengenal Stigma Dan Diskriminasi Pada Kesehatan Mental [WWW Document]. URL https://student-activity.binus.ac.id/himme/2021/11/social-connect-mengenal-stigma-dan-diskriminasi-pada-kesehatan-mental/ (accessed 6.10.24).

Chandra, J., Mulapoa, C., Erlaningtyas, A.D., 2022. Remaja Pedesaan Butuh Layanan Kesehatan Mental [WWW Document]. URL https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/15/153500771/remaja-pedesaan-butuh-layanan-kesehatan-mental?page=all#google_vignette (accessed 6.10.24).

Duhita, S., 2018. Mahalnya Biaya Melawan Depresi Dan Menjaga Kesehatan Mental di Indonesia [WWW Document]. URL https://www.vice.com/id/article/435gkw/mahalnya-biaya-melawan-depresi-dan-menjaga-kesehatan-mental-di-indonesia (accessed 6.10.24).

kompasiana, 2023. Kurangnya Tenaga Kesehatan Mental di Indonesia.

Nur Haryanti, A., Bintang Syah Putra, M., Larasati, N., Nureel Khairunnisa, V., Dyah Dewi, L.A., 2024. Analisis Kondisi Kesehatan Mental di Indonesia Dan Strategi Penanganannya. Student Research Journal 28–40. https://doi.org/10.55606/srjyappi.v2i3.1219

Riskesdas, 2018. Riset Kesehatan Dasar.

sehatnegeriku.kemenkes, 2022. Kemenkes Perkuat Jaringan Layanan Kesehatan Jiwa di Seluruh Fasyankes [WWW Document]. URL https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20221010/4041246/kemenkes-kembangkan-jejaring-pelayanan-kesehatan-jiwa-di-seluruh-fasyankes/ (accessed 6.10.24).

WHO, 2017. Depression and Other Common Mental Disorders Global Health Estimates.

Winurini, S., 2023. Penanganan Kesehatan Mental Di Indonesia.