Artikel Kesehatan (Duduk Terlalu Lama? Budaya Perilaku Sedentari Dan Ancamannya Bagi Kesehatan Masyarakat Di Era Modern)
DUDUK
TERLALU LAMA? BUDAYA PERILAKU SEDENTARI DAN ANCAMANNYA BAGI KESEHATAN
MASYARAKAT DI ERA MODERN
Oleh:
Amaliyah Nurmely Rahmah Saragih
Di era modern saat ini, kemajuan teknologi telah menuntun
kita untuk menjalani gaya hidup sedentari, yang mengakibatkan penurunan
signifikan dalam aktivitas fisik (Mohan & Selvarajan, 2017). Perilaku
sedentari (dari bahasa Latin "sedere"
yang berarti "duduk") didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan
di luar waktu tidur dengan pengeluaran energi sangat rendah (≤1,5 METs), seperti duduk, berbaring, menonton televisi, atau
bekerja di depan komputer dalam waktu yang lama (Pate, O'Neill, & Lobelo,
2008; Owen, Healy, Matthews, & Dunstan, 2010; Sedentary Behaviour Research
Network [SBRN], 2012).
Meskipun tampak tidak berbahaya, perilaku
sedentari dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat modern. Di Indonesia,
33,5% penduduk usia ≥10 tahun menghabiskan waktu duduk ≥6 jam per hari
(Riskesdas, 2018), yang meningkat dari 24,1% pada tahun 2013. Riskesdas (2013)
menyebutkan bahwa perilaku
sedentari berisiko menyebabkan penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung,
dan memengaruhi umur harapan hidup.
Penelitian juga menunjukkan perilaku ini
meningkatkan risiko penyakit kronis seperti obesitas, diabetes tipe 2, penyakit
kardiovaskular, dan kanker (Biswas et al., 2015; Ekelund et al., 2016).
Prevalensi obesitas penduduk usia ≥18 tahun di Indonesia meningkat dari 14,8%
pada tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018 (Kemenkes, 2018). Selain itu,
perilaku sedentari juga dapat mempengaruhi kesehatan mental, seperti depresi
dan kecemasan (Teychenne, Costigan, & Parker, 2015), serta
berdampak buruk pada fungsi kognitif dan produktivitas (Falck, Davis, &
Liu-Ambrose, 2017).
Kini, kemudahan teknologi sering membuat kita lupa akan
pentingnya bergerak aktif demi menjaga kesehatan (news18.com, 2023). Namun,
selain faktor teknologi, terdapat juga berbagai aspek sosial dan budaya lain
yang turut berperan dalam meningkatnya perilaku sedentari, seperti yang
disebutkan oleh Kumareswaran (2023) dan Nafi’ah Hadi (2022):
1.
Teknologi
Teknologi tidak terpisahkan
dari kehidupan sehari-hari, yang berperan penting dalam komunikasi dan
interaksi manusia. Namun, penggunaan teknologi, termasuk komputer dan perangkat
elektronik, telah merubah cara kita hidup dengan meningkatkan ketergantungan
dan mendorong perilaku sedentari. Teknologi memudahkan akses ke media sosial,
di mana orang cenderung menghabiskan waktu untuk aktivitas yang kurang produktif
seperti berbincang online, berbagi
konten, dan bermain game. Ini
menciptakan kebiasaan yang mengurangi motivasi untuk bergerak dan berolahraga.
Selain itu, kenyamanan dan kecanggihan smartphone
juga turut memengaruhi pengguna untuk menjadi malas bergerak.
2.
Pengetahuan
dan sikap
Rendahnya pengetahuan dan
sikap masyarakat mengenai perilaku sedentari disebabkan oleh masih
terbatasnya informasi tentang
perilaku sedentari. Kementerian Kesehatan sudah
membuat media informasi
tentang perilaku sedentari,
akan tetapi sosialisasi
dan publikasi mengenai perilaku
sedentari dan dampaknya masih sangat terbatas.
3.
Status
sosioekonomi
Di negara berpendapatan
tinggi, individu dengan sosioekonomi rendah cenderung lebih sering berperilaku
sedentari dibandingkan dengan kalangan sosioekonomi yang lebih tinggi. Namun,
pola ini terbalik di negara berpendapatan rendah-menengah, seperti Indonesia.
Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat yang lebih mampu memiliki akses
lebih mudah pada teknologi dan fasilitas yang mendorong gaya hidup sedentari,
serta mereka cenderung memanfaatkannya lebih sering.
4.
Usia
Anak-anak dan remaja yang
sering menggunakan layar, pekerja kantoran dan profesi lainnya yang berisiko
banyak duduk, serta lansia dan individu dengan keterbatasan mobilitas adalah
kelompok yang paling rentan terhadap perilaku sedentari di Indonesia.
5.
Pendidikan
Orang-orang berpendidikan
tinggi cenderung menghabiskan banyak waktu dalam posisi duduk, terutama saat
bekerja. Hal ini terungkap dari studi yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak waktu yang dihabiskan dalam posisi
duduk, terutama pada hari kerja. Kemungkinan penyebabnya adalah karena
pekerjaan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi memerlukan lebih banyak
waktu untuk duduk.
6.
Pola Asuh
Anak-anak cenderung
memiliki perilaku sedentari yang tinggi jika orang tua mereka banyak menonton
TV atau menggunakan komputer. Pada anak perempuan, perilaku sedentari juga
meningkat jika mereka sering dibatasi untuk bermain di luar rumah.
7.
Dukungan
teman sebaya
Remaja yang tidak mendapat
dukungan teman sebaya cenderung berperilaku sedentari. Namun, teman sebaya yang
memberikan dukungan untuk berolahraga bersama, mengingatkan untuk aktif secara
fisik, dan membatasi penggunaan perangkat elektronik dapat mengurangi perilaku
sedentari. Studi menunjukkan bahwa hubungan pertemanan dapat memengaruhi
kebiasaan aktivitas fisik remaja, di mana mereka lebih cenderung berolahraga
jika didukung oleh teman dekat yang sering bersama dan memiliki jenis kelamin
yang sama.
8.
Pandemi
Covid-19
Covid-19 meningkatkan
ketidakaktifan fisik dengan lockdown yang
membuat orang lebih banyak duduk dan kurang berolahraga. Lockdown mengubah kebiasaan dan keadaan emosional seseorang, dengan
menambah stres dan menghambat aktivitas fisik.
Satu-satunya cara untuk mengatasi perilaku sedentari
adalah dengan lebih banyak bergerak dan beraktivitas fisik dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut British Heart Foundation, ada lima langkah sederhana yang
dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku sedentari:
1.
Istirahat
dari layar: Segera berdiri setiap iklan muncul ketika menonton TV dan jauhi
layar komputer dengan berjalan-jalan sebentar atau minum air saat bekerja di
kantor. Jika takut lupa untuk beristirahat, aktifkan pengingat di ponsel atau
tempelkan memo di area kerja.
2.
Berdiri
saat memungkinkan: Membiasakan untuk berdiri ketika menonton TV, dalam rapat,
saat bekerja, atau saat naik transportasi umum. Kebiasaan ini juga dapat
dilakukan saat di sekolah/kampus, dengan menyelingi aktivitas belajar sambil
melakukan peregangan ringan.
3.
Bergerak
aktif: Lebih baik berinteraksi langsung dengan rekan kerja daripada mengirim
email dan naik tangga alih-alih lift atau eskalator. Di area sekolah/kampus,
prinsip yang sama dapat diterapkan dengan berbicara langsung dengan teman
sekelas atau membersihkan ruang kelas bersama. Selain itu, sebaiknya luangkan
waktu untuk berjalan kaki selama 30 menit sebelum memulai aktivitas di pagi
hari, dan jika menerima panggilan telepon, coba lakukan sambil berjalan-jalan
kecil daripada hanya duduk diam.
4.
Jadwalkan
aktivitas: Bepergian dengan jalan kaki, ikut kelas olahraga di malam hari, atau
kegiatan sehat bersama komunitas seperti Car
Free Day pada hari Minggu. Saat di rumah, kita juga dapat menjadwalkan
aktivitas untuk tetap bergerak, seperti berkebun, memasak, atau melakukan
pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, dan mencuci.
5.
Tetapkan
batasan: Batasi waktu menonton TV, bermain ponsel, atau menggunakan internet
serta ajak keluarga untuk ikut menaatinya.
Untuk mengatasi ancaman perilaku sedentari, diperlukan
strategi komprehensif yang melibatkan peningkatan kesadaran, edukasi tentang
bahaya duduk berlebihan, dan promosi aktivitas fisik. Perubahan dalam desain
lingkungan kerja dan dukungan kebijakan pemerintah untuk gaya hidup aktif juga
penting. Semua pihak, mulai dari individu hingga pemerintah, perlu terlibat
aktif, meliputi individu mengadopsi gaya hidup aktif, komunitas menyediakan
fasilitas olahraga, dan pemerintah menerapkan kebijakan yang mendukung
aktivitas fisik.
Dengan kesadaran dan tindakan kolektif, kita dapat
mengatasi ancaman perilaku sedentari, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan
memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Meskipun
teknologi modern memudahkan, kita harus berusaha untuk lebih bergerak dan
mengurangi waktu duduk agar tetap sehat. Mari bersama-sama menjaga kesehatan
dengan hidup lebih aktif!
REFERENSI:
Biswas, A., Oh, P. I., Faulkner, G. E., Bajaj, R. R.,
Silver, M. A., Mitchell, M. S., & Alter, D. A. (2015). Sedentary time and
its association with risk for disease incidence, mortality, and hospitalization
in adults: a systematic review and meta-analysis. Annals of internal medicine, 162(2),
123-132. Diakses 27 Mei 2024 dari https://www.unm.edu/~lkravitz/Sports%20Physiology/SedentaryLifestyle.pdf
British Heart Foundation. (n.d.). 5 Ways to Spend Less Time Sitting Down. Diakses 27 Mei 2024 dari https://www.bhf.org.uk/informationsupport/heart-matters-magazine/activity/sitting-down/spend-less-time-sitting-down
Ekelund, U., Steene-Johannessen, J., Brown, W. J.,
Fagerland, M. W., Owen, N., Powell, K. E., ... & Lee, I. M. (2016). Does
physical activity attenuate, or even eliminate, the detrimental association of
sitting time with mortality? A harmonised meta-analysis of data from more than
1 million men and women. The lancet, 388(10051), 1302-1310. Diakses 27 Mei
2024 dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673616303701?casa_token=BhkD_hcuDvQAAAAA:b6i2RaurICAfMS8dCvVSSWNDjCymKCSokCBUHP8KJVvcVlfX0bpu90ULz5X17-0_K1lCcF22_59f
Falck, R. S., Davis, J. C., & Liu-Ambrose, T. (2017).
What is the association between sedentary behaviour and cognitive function? A
systematic review. British journal of
sports medicine, 51(10), 800-811.
Diakses 27 Mei 2024 dari https://www.proquest.com/docview/1894678693?pq-origsite=gscholar&fromopenview=true
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013; RISKESDAS. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. (2018). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018; RISKESDAS. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI.
Kumareswaran, S. (2023). Detrimental Impact of Sedentary
Behaviour on Health. European Journal of
Medical and Health Sciences, 5(1),
18-22. Diakses 27 Mei 2024 dari https://www.ej-med.org/index.php/ejmed/article/download/1630/972
Mohan, V., & Selvarajan, K. K. (2017). Physical
activity and health: Shifting focus from modern era to Stone Age life style. Phys Med Rehabil Res, 2. Diakses 27 Mei 2024 dari https://www.oatext.com/physical-activity-and-health-shifting-focus-from-modern-era-to-stone-age-life-style.php#Article
Nafi'ah, N., & Hadi, E. N. (2022). Perilaku Sedentari
dan Determinannya: Literature Review. Media
Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 5(12), 1498-1505. Diakses 27 Mei 2024 dari https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/MPPKI/article/view/2795/2473
News18.com. (2023). Why The Modern Sedentary Lifestyle Is A Major Health
Crisis? Find Out. Diakses 27 Mei 2024 dari https://www.news18.com/news/lifestyle/why-the-modern-sedentary-lifestyle-is-a-major-health-crisis-find-out-6996187.html
Owen, N., Healy, G. N., Matthews, C. E., & Dunstan, D.
W. (2010). Too much sitting: the population health science of sedentary
behavior. Exercise and sport sciences
reviews, 38(3), 105-113. Diakses
27 Mei 2024 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3404815/
Pate, R. R., O'neill, J. R., & Lobelo, F. (2008). The
evolving definition of" sedentary". Exercise and sport sciences reviews, 36(4), 173-178. Diakses 27 Mei 2024 dari https://citeseerx.ist.psu.edu/document?repid=rep1&type=pdf&doi=eaa643e22b7bc16da6d82654ecf91afb637b4bc1
Sedentary Behaviour Research Network
(SBRN). (2012). What is Sedentary Behaviour?. Diakses 27 Mei 2024 dari dari https://www.sedentarybehaviour.org/what-is-sedentary-behaviour/
Teychenne, M., Costigan, S. A., & Parker, K. (2015).
The association between sedentary behaviour and risk of anxiety: a systematic
review. BMC public health, 15, 1-8. Diakses 27 Mei 2024 dari https://link.springer.com/article/10.1186/s12889-015-1843-x