Artikel Kesehatan (Determinan Faktor Budaya Pada Kejadian Stunting Di Indonesia)

facebook sharing button
twitter sharing button
whatsapp sharing button
telegram sharing button
gmail sharing button
sharethis sharing button

Determinan Faktor Budaya Pada Kejadian Stunting Di Indonesia

Oleh : Ade Fadly H Masse

 

 

Stunting adalah gangguan pertumbuhan linearitas yang dapat diukur dengan z-score tinggi badan menurut umur (TB/U). Stunting disebabkan oleh adanya malnutrisi kronis atau penyakit menular kronis. Faktor pendorong dari terjadinya stunting, bisa disebabkan seperti keadaan sosial ekonomi, nutrisi yang didapatkan saat kehamilan, morbiditas bayi dan asupan gizi bayi 1. Stunting menjadikan anak lebih mudah terkena penyakit dan produktivitas 2. Stunting menurut 3 adalah masalah kurang gizi kronis yang bisa dilihat dengan tubuh pendek.

Ada beragam faktor yang memicu terjadinya stunting pada anak. Menurut kerangka konseptual WHO, aspek sosial budaya turut berperan dalam perkembangan anak. Di Indonesia, tingginya angka stunting sebagian besar dipengaruhi oleh faktor budaya dalam layanan kesehatan, seperti kepercayaan masyarakat terhadap larangan makanan tertentu yang mengurangi asupan gizi anak. Beberapa komunitas bahkan menganggap stunting sebagai hal yang wajar dan tidak memerlukan intervensi medis, melainkan dianggap sebagai anugerah Tuhan atau takdir yang harus diterima. Keyakinan semacam itu berpengaruh pada praktik pemberian nutrisi kepada ibu hamil dan bayi. Selain itu, minimnya pelayanan kesehatan yang mengintegrasikan nilai budaya turut membuat upaya intervensi gizi terlihat negatif dalam masyarakat 4.

Fakta Tentang Stunting

Stunting adalah kondisi di mana pertumbuhan anak balita terhambat akibat kekurangan gizi kronis, terutama selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Ketidakmampuan tumbuh ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu lama serta seringnya terjadi infeksi berulang, yang semuanya dipengaruhi oleh pola asuh yang kurang memadai selama 1.000 HPK. Anak dikatakan stunting jika panjang atau tinggi badannya lebih rendah dari standar nasional yang berlaku. Kekurangan gizi ini bisa dimulai sejak dalam kandungan dan berlanjut setelah kelahiran, meski gejala stunting baru tampak setelah anak berusia 2 tahun. Kondisi ini membuat anak berisiko lebih tinggi terkena penyakit tidak menular saat dewasa, seperti diabetes melitus, kanker, penyakit jantung, hipertensi, dan lain sebagainya 5.

WHO/United Nations Children's Fund (UNICEF)/ The World Bank (WB) menyatakan bahwa pada tahun 2020, 22% anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia mengalami pertumbuhan yang terhambat. Antara tahun 2000 dan 2020, prevalensi stunting secara global menurun dari 33,1% menjadi 22%, dan jumlah anak yang terkena dampak turun dari 203,6 juta menjadi 149,2 juta. Pada tahun 2020, hampir dua dari lima anak dengan stunting tinggal di Asia Selatan sementara dua dari lima anak lainnya tinggal di sub-Sahara Afrika 6,7. Menurut Asian Devolopment Bank (ADB), 2020 prevalensi stunting anak balita di Indonesia menempati urutan kedua di Asia Tenggara yaitu 31,8% pada tahun 2020. Kementerian kesehatan RI melaporkan terjadinya penurunan prevalensi stunting, hasil riskesdas 2013 dan 2018 menunjukkan sebesar 37,2% dan 30,8% 8,9. Sedangkan hasil SSGI prevalensi stunting tahun 2021 dan 2022, diperoleh angka sebesar 24,4% dan 21,6% 10.

Pengaruh Budaya Pada Kejadian Stunting

Pengaruh budaya dalam masyarakat secara signifikan mempengaruhi pola pikir dan perilaku yang dapat menyebabkan stunting pada anak 11. faktor budaya seperti pola asuh dan tradisi tertentu seringkali tidak mendukung pola makan yang sehat dan bergizi bagi anak-anak, yang berkontribusi pada masalah stunting 12.

1.      Praktik Pemberian Makan dan Pola Asuh

Budaya yang kuat di masyarakat berkontribusi pada tingginya angka pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) terlalu dini. Kebanyakan ibu memberikan MPASI dini agar bayi cepat besar, dengan anggapan bahwa bayi yang lebih gemuk adalah kebanggaan. Namun, obesitas pada bayi dapat menyebabkan kesulitan aktivitas, sesak napas, tekanan darah tinggi, dan risiko diabetes akibat makanan tinggi gula 13,14.

 

Salah satu contoh lain dalam budaya Suku Batak, sistem patrilineal memberikan peran sentral kepada ayah sebagai kepala keluarga, namun, rupanya, keterlibatan mereka dalam urusan asupan gizi sehari-hari dipercayakan oleh ibu. Ternyata, peran ayah dalam pola asuh nutrisi juga memiliki dampak penting terhadap kejadian stunting 12.

2.      Pola Konsumsi Makanan Dalam Budaya Lokal

Budaya negatif mempengaruhi praktik makan yang kurang baik di kalangan masyarakat, salah satu contoh di wilayah Lombok, memberi makan pisang dan nasi pada anak di bawah usia 4 bulan. Mereka juga percaya bahwa diare dan muntah pada balita setelah 6 bulan adalah tanda pertumbuhan gigi yang sehat. Selain itu, mereka hanya makan ayam pada hari tertentu, menghindari makanan bersantan dan gorengan karena dianggap menyebabkan penyakit, dan memanggil “sando” (dukun) untuk air doa saat anak sakit 15.

3.      Upaya Pemerintah dan Lembaga Kesehatan

Sementara upaya telah dilakukan dengan adanya beberapa kebijakan untuk menangani stunting di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan), UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pemberian ASI Eksklusif (PP ASI Eklusif), dan lain-lain, namun, implementasinya masih mengecewakan menurut penelitian terkini (Muthiah, 2022) 16.

 

Terlebih lagi, dalam bulan Juni 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menjadi RUU inisiatif DPR dan telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. Dalam Naskah Akademik RUU KIA, dijelaskan bahwa salah satu alasan utama pembentukan rancangan undang-undang tersebut adalah untuk mengatasi permasalahan stunting (DPR, 2022) 17.

Kesimpulan

Memahami faktor budaya dalam kejadian stunting sangat penting karena budaya mempengaruhi pola makan, pola asuh, dan keyakinan masyarakat terhadap kesehatan anak. Budaya yang kuat dapat berdampak signifikan pada praktek pemberian makanan dan kesehatan anak, yang seringkali menjadi penyebab stunting. Dengan demikian, pendekatan yang mempertimbangkan aspek budaya sangat diperlukan untuk efektivitas program penanggulangan stunting.

Selain itu, diperlukan kerjasama lintas sektor yang melibatkan pemerintah, lembaga kesehatan, komunitas, dan organisasi non-pemerintah untuk mengatasi masalah stunting melalui pendekatan budaya. Kolaborasi ini harus mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam program intervensi gizi dan kesehatan agar dapat diterima dan diterapkan dengan lebih baik oleh masyarakat.

 

Referensi

1.        Rahmawati A, Nurmawati T, Permata Sari L. Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Orang Tua tentang Stunting pada Balita. Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery). 2019;6(3):389-395. doi:10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395

2.        Human Development Worker. Buku Saku Kader Pembangunan Manusia (KPM) Memastikan Konvergensi Penanganan Stunting Desa.; 2018.

3.        Kemenkes RI. p2ptm.kemkes.go.id/sehat 1 dari 3 balita indonesia derita stunting. Published online 2018.

4.        Idham Choliq PFWUH. Keperawatan Berbasis Budaya Sebagai Intervensi Masalah Stunting Di Indonesia.; 2023.

5.        Kebijakan Pembangunan B, Kementerian K, Ri K. Dalam Angka Tim Penyusun SKI 2023 Dalam Angka.; 2023.

6.        UNICEF. Data.UNICEF. Stunting has declined steadily since 2000 – but faster progress is needed to reach the 2030 target. Wasting persists at alarming rates and overweight will require a reversal in trajectory if the 2030 target is to be achieved. Published 2020. Accessed December 28, 2021. https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/#:~:text=In%202020*%2C%2022%20per%20cent,203.6%20million%20to%20149.2%20million.

7.        WHO. WHO.int. UNICEF / WHO / The World Bank Group joint child malnutrition estimates: key findings of the 2021 edition. Published 2021. Accessed December 28, 2021. https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/joint-child-malnutrition-estimates-unicef-who-wb

8.        Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. Published online 2013.

9.        Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. Published online 2018.

10.      SSGI. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) .; 2022.

11.      Teguh M, Koesbardiati T, Ida R, Puspa R, Syafarani Y. Dampak Budaya Adaptif dan Ideasional dalam Kasus Stunting di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial. 2023;14(1). doi:10.46807/aspirasi.v14i1.2896

12.      Wahyu A, Sagala LM, Sinaga RM. Faktor Budaya Batak dengan Kejadian Stunting. Journal of Telenursing (JOTING). 2023;5(2):3642-3648. doi:10.31539/joting.v5i2.7617

13.      Sari MR, Asrita DE. Socio-Cultural Influence on Early Breast Milk Companion Feeding in Bente Village, Mandah District, Indragiri Hilir Regency.; 2020. https://journal.neolectura.com/index.php/mnhj

14.      Susanti widiasdtuti widiastuti, Marini M, Anggi Y. Hubungan  Pendidikan,  Pengetahuan  Dan  Budaya Terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Di Puskesmas Ciruas Kabupaten Serang Tahun 2019. Journal Educational Of Nursing (JEN). 2020;3(1):1-10.

15.      Zulfikar Al-Fariqi M, Studi Gizi P, Kesehatan F, Budaya Dan Pengetahuan Ibu Terhadap Praktik Pemberian Makan Pada Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Narmada Lombok Barat P, Pricilia Yunika R. Effect Of Culture And Knowledge Mother With The Practice Of Feeding In Baby In The Work Area Puskesmas Narmada West Lombok.; 2021.

16.      Muthiah N. Efektivitas Implementasi Kebijakan Penanganan Stunting Di Indonesia Dan Aspek Penting Yang Perlu Dimasukkan Dalam RUU KIA.; 2022.

17.      DPR. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan  Anak. Published online 2022.